Blog ini hanya merupakan back up data dari Situs www.ditjenmiltun.net apabila situs ini mengalami gangguan dan juga mencoba mengarsipkan berita-berita terkait dengan Mahkamah Agung atau berita-berita dari media on line yang ada ..

Selasa, 17 Juli 2012

Dilema Diskresi Ditengah Godaan Korupsi
Media Indonesia, Senin, 16 Juli 2012 08:12 WIB
PARA pejabat publik terancam dijerat saksi pidana jika mengeluarkan kebijakan (diskresi) yang tidak dianggarkan. Padahal, kebijakan itu sangat dibutuhkan untuk mengatasi perubahan kondisi yang cepat, semisal dampak bencana alam atau wabah penyakit.

Mantan Bupati Subang Eep Hidayat, yang menjadi terpidana dalam perkara korupsi biaya pungut pajak bumi dan bangunan (PBB) Subang, salah satu contohnya.

Mahkamah Agung (MA) memutuskan Eep bersalah sehingga harus mendekam di penjara selama lima tahun. Dia didenda Rp200 juta serta subsider tiga bulan penjara dan wajib mengembalikan uang negara sebesar Rp2,548 miliar. Vonis MA itu membatalkan vonis bebas yang sebelumnya dikeluarkan Pengadilan Tipikor Bandung.

Hal yang sama terjadi pada mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari yang menjadi tersangka atas dugaan pembantuan penyalahgunaan wewenang tindak pidana korupsi terkait pengadaan barang dengan penunjukan langsung pembuatan vaksin flu burung, yang menyebabkan negara mengalami kerugian sebesar sekitar Rp6 miliar. Saat itu Siti Fadilah menyetujui penunjukan langsung pengadaan alat kesehatan dan perbekalan rumah sakit untuk mengatasi wabah flu burung.

Keterbatasan waktu membuat Fadila harus melakukan diskresi, tetapi akibatnya dia dijadikan tersangka karena tidak sesuai dengan aturan.

Secara sederhana, bupati memungut pajak bumi dan bangunan untuk memperbaiki jalan rusak, tetapi itu tidak dianggarkan dan diatur pada tahun tersebut. Hal tersebut dapat melanggar hukum walaupun untuk pelayanan publik. Lalu pada tsunami Aceh, yang membutuhkan anggaran pemda dalam jumlah besar, tetapi tidak dianggarkan. Jika memungut uang dari publik, kepala daerah dapat dipidanakan. Dengan demikian, terobosan kebijakan yang dikeluarkan pejabat publik terhadap kondisi itu dinilai tidak memiliki kepastian hukum.


Ganti kebijakan

Pakar ilmu administrasi negara Universitas Indonesia Azhar Kasim menegaskan kebijakan yang dikeluarkan pejabat publik tidak bisa dikriminalisasi. Konsekuensi dari kebijakan yang salah atau tidak sesuai ialah kebijakan tersebut diganti karena dipertanggungjawabkan secara politik, bukan hukum.

Di beberapa negara, konsekuensi dari kebijakan yang salah yaitu mundurnya pejabat tersebut, bukan pidana. Namun jika unsur dalam kebijakan itu merugikan negara, sebagai misal ada unsur suap dan menguntungkan kelompok tertentu, orang yang bertanggung jawab atas kebijakan tersebut dapat dipidanakan.

"Yang dapat dipidanakan adalah unsur dalam kebijakan tersebut seperti mengeluarkan keputusan seolah-olah kebijakan yang tujuannya bukan untuk masyarakat, melainkan untuk kepentingan atau menguntungkan kelompok tertentu, ada unsur suap," kata Azhar Kasim.

Sebagai contoh, jelas Azhar, memenangi tender yang tidak sesuai dengan proses berlaku sehingga negara dirugikan keputusannya dan ada unsur kriminal di dalamnya. Namun jika kondisi mendesak, kebijakan tidak masalah asal tidak merugikan negara.

"Andai kata tidak memenuhi prosedur tender, tapi harga kompetitif tidak masalah. Namun jika ternyata harganya naik dua kali lipat dari harga normal, itu yang menjadi masalah. Begitu juga untuk kasus lainnya. Sehingga baik keputusan tersebut sesuai atau tidak dengan prosedur (dalam keadaan tertentu) dapat dipertanggungjawabkan, maka tidak masalah," katanya.

Lain halnya dengan dosen ilmu politik UI Cecep Hidayat. Ia berpendapat terobosan kebijakan yang dilakukan beberapa kepala daerah dan menteri yang di kemudian hari menjadi persoalan hukum harus diikuti dengan terobosan hukum pula.

"Sebetulnya ini tidak menjadi persoalan kalau saja pengadilan mampu menerapkan prinsip terobosan hukum. Mereka kan rata-rata melakukan terobosan kebijakan.
Maka itu hakim harus menilai kasus seperti ini dengan terobosan hukum pula, bukan dengan ketentuan hukum yang kaku. Saya rasa penting sekali di sini keyakinan seorang hakim menilai daripada sekadar berpegang pada hukum secara rigid," ujarnya.

Tidak mengherankan, menurut dia, banyak kepala daerah tidak melakukan terobosan kebijakan karena menghindari risiko hukum, yang kemudian hari bisa menjeratnya. "Padahal kebijakan itu harus dia ambil, tapi karena ada ketakutan dia tidak jadi. Tentu saja efeknya tidak baik," tukas Cecep. (*/P-1) sumber
[Koran-Digital]

WAWANCARA Gamawan Fauzi - Pengadilan Jangan Diintervensi
Jatuhnya vonis pengadilan terhadap sejumlah kepala daerah yang didakwa melakukan korupsi terkait dengan prosedur pengambilan kebijakan kembali menimbulkan perdebatan. Beberapa kepala daerah mulai protes karena kebijakan yang mereka buat berdasarkan wewenang yang melekat sebagai  pejabat publik.
Untuk menggali lebih dalam tentang hal itu, wartawan Media Indonesia Emir Chairullah mewawancarai Menteri Dalam negeri Gamawan Fauzi. Berikut petikannya.
Kepala daerah melakukan protes karena rekan mereka dihukum terkait diskresi. Mengapa hal ini bisa terjadi? Kita akui masalah diskresi ini kembali menjadi polemik. Kemarin muncul keluhan dari para bupati bahwa harus ada batasan yang jelas antara hukum pidana dan hukum administrasi negara. Di satu sisi bupati diminta untuk berkreasi untuk pembangunan, namun ketika masuk wilayah abu-abu, mereka terjerat hukum pidana. apalagi Presiden SBy (Susilo Bambang yudhoyono) sudah berulang kali menyatakan bahwa kebijakan jangan dipidanakan.
Jika Presiden sudah menyatakan demikian, mengapa kepala daerah tetap khawatir? Persoalannya ada di pengujian kebijakan itu sendiri. Secara normatif wewenang untuk menguji kebijakan itu ada di pengadilan. Sebenarnya kita berharap peradilan jangan ditekan oleh golongan masyarakat mana pun.

yang jadi persoalan selama ini timbul kesan, kalau peradilan membebaskan terdakwa pelaku korupsi, seakan-akan dia bekerja sama dengan koruptor. akibatnya pengadilan tidak bisa membedakan mana hukum administrasi, mana yang pidana. Kalau itu terjadi, supremasi hukum menjadi bias. Jadi masyarakat tidak bisa menekan peradilan. Seharusnya peradilan lebih independen , tidak bisa ditekan. Biarkan dia berpikir secara jernih.
Apakah batasan sebuah kebijakan merupakan diskresi atau korupsi? Kita kan sedang merumuskan uu administrasi negara. apabila selesai, mungkin lebih jelas batasannya.
Selama ini bagaimana praktiknya? Saat ini tidak jelas betul batasannya. Misalnya, seorang kepala daerah membebaskan lahan. Membebaskan lahan dengan PP apa? apakah untuk kepentingan umum atau untuk pe merintah? Bisa saja aparat hukum melihat ini merugikan negara karena menurut jaksa ada hukum yang terlanggar. ada memperkaya orang lain. Sementara kepala aerah bilang tugas saya memperkaya orang lain ka rena memang ada keun tungan untuk kontraktor sebesar 10%, dan ini dijamin uu.

Tapi saya akui ini menjadi perdebatan. yang penting kepala daerah tidak ada niat untuk melanggar hukum. namun begitu penerapan hukum yang keliru. harusnya masuk dalam konteks administrasi negara.

Apa ukuran seseorang tidak punya niat melanggar hukum? Selama semua prosedur hukum ditempuh tidak jadi soal. namun di sinilah fungsi pengadilan untuk mendalami apakah ada pelanggaran karena kesengajaan atau tidak. Penegakan hukum itu kan bukan hanya menghukum orang. Esensi dari penegakan hukum ialah menghukum yang bersalah dan membebaskan yang tidak bersalah. Kalau yang masuk pengadilan pasti dihukum, ya tidak perlu melalui sidang.
Kalau dia menerima suap? Itu sih tidak perlu ditanya lagi. Masuknya ke ranah pidana, apa pun alasannya. (P-4)

Kamis, 12 Juli 2012

381 Pelamar Dinyatakan Lulus Seleksi Administrasi Calon Hakim Ad Hoc Tipikor Tahun 2012


Jakarta | Kepaniteraan.Online (12/7)
381 orang dari 415 pelamar dinyatakan lulus dalam seleksi administrasi penerimaan calon hakim ad hoc Tipikor tahun 2012. Mereka terdiri dari 153 pelamar hakim ad hoc Tipikor tingkat banding dan  228 pelamar untuk tingkat pertama. Mereka yang dinyatakan lulus seleksi administrasi ini berhak mengikuti seleksi tertulis yang akan dilaksanakan serentak pada hari Selasa, 17 Juli 2012. Demikian disampaikan oleh Panitia Seleksi yang diketuai Djoko Sarwoko, Ketua Muda Pidana MA RI dalam Surat Keputusan bernomor  28/PANSEL/AD HOC TPK/VII/2012 tanggal 12 Juli 2012. Nama-nama pelamar yang dinyatakan lulus tersebut bisa dilihat di menu pengumuman website ini (klik disini).


Penyelenggaraan ujian tertulis ini  akan dilaksanakan di masing-masing pengadilan tinggi kecuali di bererapa tempat yang jumlah pelamarnya dibawah lima orang, yaitu : 1) Wialyah PT Bangkabelitung penyelenggaraannya digabung di PT Palembang; 2). Wilayah PT Tanjungkarang, PT Pontianak penyelenggaraannya digabung di PT. Banten; 3). Wilayah PT Palangkaraya, PT Banjarmasin, dan PT Samarinda penyelenggaraannya digabung di PT Surabaya ; 4). Wilayah PT Denpasar, PT Kupang penyelenggaraannya di gabung di PT Mataram; dan 5). Wilayah PT. Gorontalo dan PT. Ambon  penyelenggaraannya di gabung di PT. Makassar.

Menurut Pansel,  seleksi tertulis calon hakim ad hoc Tipikor kali ini berbeda dengan seleksi-seleksi sebelumnya, mereka akan ada penambahan materi ujian yakni penyusunan putusan. “ Jadwal ujiannya akan lebih lama, seharian,  jam 8.30 sampai jam 12.30 materi uji penyusunan putusan kemudian break dan dilanjutkan  dengan materi yang sama dengan tahun kemarin selama dua jam, mulai pukul 14.00 s.d pukul 16.00”, ujar wakil ketua pansel yang juga hakim agung kamar pidana, SUHADI, SH, MH. (an)