Blog ini hanya merupakan back up data dari Situs www.ditjenmiltun.net apabila situs ini mengalami gangguan dan juga mencoba mengarsipkan berita-berita terkait dengan Mahkamah Agung atau berita-berita dari media on line yang ada ..

Kamis, 29 September 2011

Menggenjot Reformasi Birokrasi

Diunggah oleh Prayogo
Selasa, 02 Agustus 2011 14:05

Pemerintah telah melakukan reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung dan KPK. Kini dilanjutkan di Kepolisian Republik Indonesia. Sudah efektif dan efisienkah reformasi yang dilakukan ?

Kebijakan pemerintah untuk mereformasi birokrasi bukan hanya kebutuhan pemerin­tah semata, tapi juga dibutuhkan dan ditunggu realisasinya oleh rakyat, khususnya dunia usaha agar bisa mendukung dengan memberikan pelayanan lebih baik. Sehingga meningkatkan daya saing mereka dan kelancaran dalam berusaha. Ini adalah tuntutan global.



Adanya perdebatan klasik antara remunerasi atau kinerja le­bih dulu semakin ketat ketika pemerintah memperketat anggaran belanja pegawai, sehingga muncul demo dan aneka tuntutan. Kecenderungan unjuk rasa oleh pegawai negeri maupun badan usaha milik negara ibarat nya sedang memasuki musim semi, yang berawal di Eropa Selatan.

Sehingga dapat dimengerti aksi mogok terbang sebagian pilot Garuda (national flag carrier) pada Kamis (28 Juli) yang sempat mengganggu 21 % jalur penerbangan walaupun berakhir damai.

Sebaliknya pega­wai negeri mogok kerja dengan berbagai alasan dan motivasi juga perlu mempertanyakan bagaimana efektivitas, efisiensi, dan produktivitasnya.

Daya saing

Padahal birokrasi yang efektif dan efisien menjadi salah satu pilar penting dalam peningkatan daya saing global sebuah negara. Dalam Global Competitiveness Report 2010-2011 (World Econo­mic Forum), disebutkan bahwa birokrasi pemerintahan yang tidak efisien menjadi faktor pertama dan paling bermasalah da­lam menjalankan bisnis di Indo­nesia (di mata pengusaha sebagai konsumen). Bahkan mengalahkan faktor korupsi, kurangnya dukungan infrastrukrur, akses pembiayaan perbankan dan kelima adalah laju inflasi.

Kondisi yang hampir sama di kawasan Asia, kecuali Singapura. Inefisiensi birokrasi pemerin­tah juga menjadi faktor pertama paling bermasalah di Malaysia, sebagai faktor kedua di Filipina, jadi faktor ketiga di Thailand, sama dengan Hong Kong, dan faktor keempat di China. Jadi faktor kesepuluh di Singapura yang jauh lebih baik dibandingkan dengan Amerika Serikat, inefisiensi birokrasinya jadi faktor kedua, sama dengan di Filipina yang jadi faktor kedua.

Akibat inefisiensi birokrasi ini maka bagi pengusaha yang ingin memulai bisnis perlu waktu sampai 60 hari keluar masuk kantor pemerintah mengurus sembilan prosedur yang dibu­tuhkan. Sebuah perbandingan global yang mencerminkan bagaimana wajah birokrasi kita dalam korelasinya sebagai pelayan publik. Satu hal yang belum diketahui pasti adalah apa penyebab inefisiensi birokrasi ini. Apakah karena remunerasi, lingkungan yang tidak kondusif atau kapabilitas diri yang kian menurun.

Dari aspek remunerasi dan penghasilan, secara kuantitatif penghasilan per kapita rata-rata pegawai negeri tahun 2008 mencapai Rp24 juta per tahun. Ini dengan asumsi menggunakan realisasi belanja pegawai tahun 2008 (Rp ll2,8 triliun) untuk to­tal 4,7 juta PNS. Jadi lebih besar dari pendapatan per kapita nasional penduduk Indonesia Rp 21,6 juta. Dengan catatan ini memang angka kasar dengan disparitas yang tinggi antar golongan, tapi minimal bisa menggambarkan kuantitatif makro dari sisi lain.

Dengan demikian tidak seluruhnya benar pandangan umum bahwa penghasilan pegawai ne­geri lebih rendah dibandingkan dengan karyawan swasta, sehingga berpengaruh pada gaya hidupnya. Sebagian akan terjawab jika menelusuri pengelolaan keuangan keluarganya yang tercakup dalam Financial Identification Number (FIN). Bisa ditelusuri apakah betul dari 138.000 pemilik rekening simpanan (Maret 2011) Rp l miliar sampai Rp 2 miliar di perbankan tidak ada yang berlatar belakang pegawai negeri.

Masih terkait remunerasi pegawai negeri, kita lihat kajian IMF berjudul "Evaluating Govern­ment Employment and Compen­sation, September 2010" yang menyatakan ada tiga indikator yang perlu diperhatikan untuk mengevajuasi gaji pegawai pemerintah. Pertama, bagaimana rasio total belanja pegawai nege­ri terhadap PDB. Tahun 2008, Indonesia rasionya sebesar 2% di bawah rata-rata Asia Pasifik 6,5% apalagi Eropa 10%. Kecenderungannya semakin maju negara semakin besar rasionya. Ka­rena pemerintah menanggung aneka tunjangan dan jaminan sosial yang nilainya juga sema­kin besar, sehingga kesejahteraan juga membaik.

Kedua, rasio belanja pegawai pemerintah terhadap penerimaan dalam negeri. Kajian IMF tersebut menunjukkan bahwa rasio tertinggi dimiliki oleh Afrika se­besar 30% dan Indonesia sebesar 23,8%. Umumnya negara berpenghasilan rendah punya rasio lebih tinggi, semakin miskin sebuah negara semakin tinggi rasi­onya. Pada beberapa negara berpenghasilan rendah ini mengindikasikan rendahnya kemampuan untuk meningkatkan sumber pendapatan negara. Terakhir adalah perbandingannya dilihat dari pendapatan per kapita nasional, seperti diungkapkan tadi.

Birokrat entrepreneur

Dengan demikian pokok masalahnya belum tentu pada usia pegawai karena jenis pekerjaannya tidak ditentukan oleh faktor otot tapi faktor otak dan dedikasi. Tentu juga tidak seratus persen benar jika para penyandang MPP praktis dianggap mulai tidak produktif dan tidak etisien. Karena jangan dilupakan bahwa banyak pegawai yang sudah memiliki cincin pengabdian seperempat abad tapi semakin pro­duktif, eflsien dan lebih bertanggung jawab (karena beban keluarga yang semakin berat). Justru tidak sedikit yang lebih muda malah berkinerja negatif (ambil contoh Gayus di Ditjen Pajak).

Karena itu langkah Kementerian Keuangan yang memandang program pensiun dini (mu­lai dilaksanakan tahun 2012) sebagai langkah awal reformasi birokrasi menuju kebaikan, belum bisa menjamin suksesnya refor­masi birokrasi secara menyeluruh. Karena ini hanya salah satu alternatif di samping moratorium sementara. Sebagaimana dinilai oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Refor­masi Birokrasi (Kemenpan-RB). Meski berbeda sudut pandang keduanya sepakat perlunya re­formasi birokrasi.

Wacana perampingan atau re­formasi birokrasi ini perlu dijalankan dengan tepat, selektif dan tidak menimbulkan gejolak. Para pegawai negeri pun perlu menanggapinya dengan arif. Perlu dipertimbangkan lagi apakah betul pensiun dini akan jadi kunci sukses reformasi birokra­si ? Sehingga bisa.menghasilkan pegawai negeri yang berkualitas, efektif dan eflsien. Untuk mendapatkan potret yang lebih tepat selayaknya secara bersamaan dikaji lagi bagaimana peta dan profil pegawai negeri sipil nasional. Sembari reformasi dari as­pek lain, karena reformasi birokrasi bukan hanya urusan otot melainkan juga urusan otak, moral, dan etos kerja.

Etos kerja harus menyeluruh dan terpadu ibaratnya melakukan "reinventing government” dengan visi menciptakan "gov­ernment as entrepreneur". Sebuah semangat yang menempatkan 4,7 juta birokrat dengan mesin birokrasinya laksana mesin manajemen korporasi yang lebih melayani daripada dilayani. Birokrat sebagai wiraswasta. Dalam arti positif bukan hanya piawai dan gesit dalam mengomersialkan tanda tangan dan perizinan. Agar birokrasi kila berdaya saing lebih baik dibandingkan dengan negara lain. Menuju birokrasi yang siap menjawab tantangan 2025, jangan dulu bicara 2050.

Opini : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif Investment and Banking Research Agency (INBRA)

Sumber : SKH Bisnis Indonesia hal.2, 2 Agustus 2011
Dikutip utuh dari Situs Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar