Blog ini hanya merupakan back up data dari Situs www.ditjenmiltun.net apabila situs ini mengalami gangguan dan juga mencoba mengarsipkan berita-berita terkait dengan Mahkamah Agung atau berita-berita dari media on line yang ada ..

Jumat, 30 September 2011

MA: Semoga Pak Gayus Lumbuun Cepat Menyesuaikan Diri

Andi Saputra - detikNews

Jakarta - DPR memilih politisi PDIP, Gayus Lumbuun, sebagai hakim agung. Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Non Yudisial, Ahmad Kamil, berharap Gayus cepat beradaptasi dengan sistem kerja di MA.

"Kan DPR sudah menetukan, sekarang makannya di sini. Semoga menu makannya juga sama-sama. Semoga, Pak Gayus cepat menyesuaikan diri," kata Wakil Ketua MA Bidang Non Yudisial, Ahmad Kamil, usai salat Jumat di MA, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Jumat, (30/9/2011).

MA juga berharap kebiasaan Gayus yang suka berbicara lantang ke publik dapat disesuaikan dengan kebijakan MA. Sebab, MA mempunyai sistem yang membolehkan orang berbicara adalah orang- orang tertentu, seperti Ketua MA, Jubir MA atau Humas MA.

"Kita kan harus mengembalikan jati diri kita sebagai hakim. Silent. Diam. Artinya, yang terbuka ya terbuka. Yang tertutup ya tertutup. Silakan baca keputusannya tapi jangan recoki saat membuat keputusan. Itu kewenangan hakim," papar Kamil.

Saat ini, MA memiliki 48 hakim agung. Dengan bertambahnya 6 hakim agung baru maka menjadi 54 hakim agung. Namun, dengan 13 ribu perkara setiap tahunnya, MA mengaku sangat keteteran.

"Saya kira, Pak Gayus kan intelektual dan lama berkecimpung di bidang hukum. Dia tahu bagaimana menempatkan diri," kata Kamil.

Dalam voting Komisi III DPR, Gayus mendapat 44 suara. Gayus berada di urutan kedua setelah Suhadi yang mendapat 51 suara.

Pemilihan ini dihadiri 50 orang anggota Komisi III. Masing-masing mendapatkan kesempatan untuk menuliskan 6 nama calon hakim agung pilihannya.

Berikut nama lengkap hakim agung pilihan Komisi III dan perolehan suaranya:

1. Suhadi (51 suara)
2. Gayus Lumbuun (44 suara)
3. Andi Samsan Nganro (43 suara)
4. Nurul Elmiyah (42 suara)
5 Dudu Duswara (34 suara)
6. Hari Jatmiko (33 suara).

Kamis, 29 September 2011

Menggenjot Reformasi Birokrasi

Diunggah oleh Prayogo
Selasa, 02 Agustus 2011 14:05

Pemerintah telah melakukan reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung dan KPK. Kini dilanjutkan di Kepolisian Republik Indonesia. Sudah efektif dan efisienkah reformasi yang dilakukan ?

Kebijakan pemerintah untuk mereformasi birokrasi bukan hanya kebutuhan pemerin­tah semata, tapi juga dibutuhkan dan ditunggu realisasinya oleh rakyat, khususnya dunia usaha agar bisa mendukung dengan memberikan pelayanan lebih baik. Sehingga meningkatkan daya saing mereka dan kelancaran dalam berusaha. Ini adalah tuntutan global.



Adanya perdebatan klasik antara remunerasi atau kinerja le­bih dulu semakin ketat ketika pemerintah memperketat anggaran belanja pegawai, sehingga muncul demo dan aneka tuntutan. Kecenderungan unjuk rasa oleh pegawai negeri maupun badan usaha milik negara ibarat nya sedang memasuki musim semi, yang berawal di Eropa Selatan.

Sehingga dapat dimengerti aksi mogok terbang sebagian pilot Garuda (national flag carrier) pada Kamis (28 Juli) yang sempat mengganggu 21 % jalur penerbangan walaupun berakhir damai.

Sebaliknya pega­wai negeri mogok kerja dengan berbagai alasan dan motivasi juga perlu mempertanyakan bagaimana efektivitas, efisiensi, dan produktivitasnya.

Daya saing

Padahal birokrasi yang efektif dan efisien menjadi salah satu pilar penting dalam peningkatan daya saing global sebuah negara. Dalam Global Competitiveness Report 2010-2011 (World Econo­mic Forum), disebutkan bahwa birokrasi pemerintahan yang tidak efisien menjadi faktor pertama dan paling bermasalah da­lam menjalankan bisnis di Indo­nesia (di mata pengusaha sebagai konsumen). Bahkan mengalahkan faktor korupsi, kurangnya dukungan infrastrukrur, akses pembiayaan perbankan dan kelima adalah laju inflasi.

Kondisi yang hampir sama di kawasan Asia, kecuali Singapura. Inefisiensi birokrasi pemerin­tah juga menjadi faktor pertama paling bermasalah di Malaysia, sebagai faktor kedua di Filipina, jadi faktor ketiga di Thailand, sama dengan Hong Kong, dan faktor keempat di China. Jadi faktor kesepuluh di Singapura yang jauh lebih baik dibandingkan dengan Amerika Serikat, inefisiensi birokrasinya jadi faktor kedua, sama dengan di Filipina yang jadi faktor kedua.

Akibat inefisiensi birokrasi ini maka bagi pengusaha yang ingin memulai bisnis perlu waktu sampai 60 hari keluar masuk kantor pemerintah mengurus sembilan prosedur yang dibu­tuhkan. Sebuah perbandingan global yang mencerminkan bagaimana wajah birokrasi kita dalam korelasinya sebagai pelayan publik. Satu hal yang belum diketahui pasti adalah apa penyebab inefisiensi birokrasi ini. Apakah karena remunerasi, lingkungan yang tidak kondusif atau kapabilitas diri yang kian menurun.

Dari aspek remunerasi dan penghasilan, secara kuantitatif penghasilan per kapita rata-rata pegawai negeri tahun 2008 mencapai Rp24 juta per tahun. Ini dengan asumsi menggunakan realisasi belanja pegawai tahun 2008 (Rp ll2,8 triliun) untuk to­tal 4,7 juta PNS. Jadi lebih besar dari pendapatan per kapita nasional penduduk Indonesia Rp 21,6 juta. Dengan catatan ini memang angka kasar dengan disparitas yang tinggi antar golongan, tapi minimal bisa menggambarkan kuantitatif makro dari sisi lain.

Dengan demikian tidak seluruhnya benar pandangan umum bahwa penghasilan pegawai ne­geri lebih rendah dibandingkan dengan karyawan swasta, sehingga berpengaruh pada gaya hidupnya. Sebagian akan terjawab jika menelusuri pengelolaan keuangan keluarganya yang tercakup dalam Financial Identification Number (FIN). Bisa ditelusuri apakah betul dari 138.000 pemilik rekening simpanan (Maret 2011) Rp l miliar sampai Rp 2 miliar di perbankan tidak ada yang berlatar belakang pegawai negeri.

Masih terkait remunerasi pegawai negeri, kita lihat kajian IMF berjudul "Evaluating Govern­ment Employment and Compen­sation, September 2010" yang menyatakan ada tiga indikator yang perlu diperhatikan untuk mengevajuasi gaji pegawai pemerintah. Pertama, bagaimana rasio total belanja pegawai nege­ri terhadap PDB. Tahun 2008, Indonesia rasionya sebesar 2% di bawah rata-rata Asia Pasifik 6,5% apalagi Eropa 10%. Kecenderungannya semakin maju negara semakin besar rasionya. Ka­rena pemerintah menanggung aneka tunjangan dan jaminan sosial yang nilainya juga sema­kin besar, sehingga kesejahteraan juga membaik.

Kedua, rasio belanja pegawai pemerintah terhadap penerimaan dalam negeri. Kajian IMF tersebut menunjukkan bahwa rasio tertinggi dimiliki oleh Afrika se­besar 30% dan Indonesia sebesar 23,8%. Umumnya negara berpenghasilan rendah punya rasio lebih tinggi, semakin miskin sebuah negara semakin tinggi rasi­onya. Pada beberapa negara berpenghasilan rendah ini mengindikasikan rendahnya kemampuan untuk meningkatkan sumber pendapatan negara. Terakhir adalah perbandingannya dilihat dari pendapatan per kapita nasional, seperti diungkapkan tadi.

Birokrat entrepreneur

Dengan demikian pokok masalahnya belum tentu pada usia pegawai karena jenis pekerjaannya tidak ditentukan oleh faktor otot tapi faktor otak dan dedikasi. Tentu juga tidak seratus persen benar jika para penyandang MPP praktis dianggap mulai tidak produktif dan tidak etisien. Karena jangan dilupakan bahwa banyak pegawai yang sudah memiliki cincin pengabdian seperempat abad tapi semakin pro­duktif, eflsien dan lebih bertanggung jawab (karena beban keluarga yang semakin berat). Justru tidak sedikit yang lebih muda malah berkinerja negatif (ambil contoh Gayus di Ditjen Pajak).

Karena itu langkah Kementerian Keuangan yang memandang program pensiun dini (mu­lai dilaksanakan tahun 2012) sebagai langkah awal reformasi birokrasi menuju kebaikan, belum bisa menjamin suksesnya refor­masi birokrasi secara menyeluruh. Karena ini hanya salah satu alternatif di samping moratorium sementara. Sebagaimana dinilai oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Refor­masi Birokrasi (Kemenpan-RB). Meski berbeda sudut pandang keduanya sepakat perlunya re­formasi birokrasi.

Wacana perampingan atau re­formasi birokrasi ini perlu dijalankan dengan tepat, selektif dan tidak menimbulkan gejolak. Para pegawai negeri pun perlu menanggapinya dengan arif. Perlu dipertimbangkan lagi apakah betul pensiun dini akan jadi kunci sukses reformasi birokra­si ? Sehingga bisa.menghasilkan pegawai negeri yang berkualitas, efektif dan eflsien. Untuk mendapatkan potret yang lebih tepat selayaknya secara bersamaan dikaji lagi bagaimana peta dan profil pegawai negeri sipil nasional. Sembari reformasi dari as­pek lain, karena reformasi birokrasi bukan hanya urusan otot melainkan juga urusan otak, moral, dan etos kerja.

Etos kerja harus menyeluruh dan terpadu ibaratnya melakukan "reinventing government” dengan visi menciptakan "gov­ernment as entrepreneur". Sebuah semangat yang menempatkan 4,7 juta birokrat dengan mesin birokrasinya laksana mesin manajemen korporasi yang lebih melayani daripada dilayani. Birokrat sebagai wiraswasta. Dalam arti positif bukan hanya piawai dan gesit dalam mengomersialkan tanda tangan dan perizinan. Agar birokrasi kila berdaya saing lebih baik dibandingkan dengan negara lain. Menuju birokrasi yang siap menjawab tantangan 2025, jangan dulu bicara 2050.

Opini : Beni Sindhunata, Direktur Eksekutif Investment and Banking Research Agency (INBRA)

Sumber : SKH Bisnis Indonesia hal.2, 2 Agustus 2011
Dikutip utuh dari Situs Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara

Senin, 26 September 2011

PEDOMAN PERILAKU HAKIM

A. PEMBUKAAN

Bahwa keadilan merupakan kebutuhan pokok rohaniah setiap orang dan merupakan perekat hubungan sosial dalam bernegara. Pengadilan merupakan tiang utama dalam penegakan hukum dan keadilan serta dalam proses pembangunan peradaban bangsa. Tegaknya hukum dan keadilan serta penghormatan terhadap keluhuran nilai kemanusiaan menjadi prasyarat tegaknya martabat dan integritas Negara. Hakim sebagai figure sentral dalam proses peradilan senantiasa dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat banyak. Putusan Pengadilan yang adil menjadi puncak kearifan bagi penyelesaian pemasalahan hukum yang terjadi dalam kehidupan bernegara. Putusan Pengadilan yang diucapkan dengan irah – irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban menegakkan keadilan yang dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia dan vertical kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Sikap Hakim yang dilambangkan dalam kartika, cakra, candra, sari dan tirta merupakan cerminan perilaku Hakim yang harus senantiasa berlandaskan pada prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, adil, bijaksana, berwibawa, berbudi luhur dan jujur. Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang melandasi prinsip – prinsip pedoman Hakim dalam bertingkah laku, bermakna pengalaman tingkah laku sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ketaqwaan tersebut akan mendorong Hakim untuk berperilaku baik dan penuh tanggung jawab sesuai tuntunan agama masing-masing. Seiring dengan keluhuran tugas dan luasnya kewenangan dalam menegakkan hukum dan keadilan, sering muncul tantangan dan godaan bagi para Hakim. Untuk itu, Pedoman Perilaku Hakim merupakan konsekuensi dari kewenangan yang melekat pada jabatan sebagai Hakim yang berbeda dengan warga masyarakat biasa.

Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan panduan keutamaan moral bagi Hakim, Baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. Hakim sebagai insan yang memiliki kewajiban moral untuk berinteraksi dengan komunitas sosialnya, juga terikat dengan norma – norma etika dan adaptasi kebiasaan yang berlaku dalam tata pergaulan masyarakat. Namun demikian, untuk menjamin terciptanya pengadilan yang mandiri dan tidak memihak, diperlukan pula pemenuhan kecukupan sarana dan prasarana bagi Hakim baik selaku penegak hukum maupun sebagai warga masyarakat. Untuk itu, menjadi tugas dan tanggung jawab masyarakat dan Negara memberi jaminan keamanan bagi Hakim dan Pengadilan, termasuk kecukupan kesejahteraan, kelayakan fasilitas dan anggaran. Walaupun demikian, meskipun kondisi-kondisi di atas belum sepenuhnya terwujud, hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bagi Hakim untuk tidak berpegang teguh pada kemurnian pelaksanaan tugas dan tanggung jawab sebagai penegak dan penjaga hukum dan keadilan yang memberi kepuasan pada pencari keadilan dan masyarakat.

Atas dasar kesadaran dan tanggung jawab tersebut, maka susunlah Pedoman Perilaku hakim ini dengan memperhatikan masukan dari Hakim di berbagai tingkatan dan lingkungan peradilan, kalangan praktisi hukum, akademisi hukum,serta pihak-pihak lain dalam masyarakat. Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan hasil perenungan ulang atas pedoman yang pertama kali dicetuskan dalam Kongres IV Luar Biasa IKAHI tahun 1966 di Semarang, dalam bentuk Kode Etik Hakim Indonesia dan disempurnakan kembali dalam Munas XIII IKAHI tahun 2000 di Bandung. Untuk selanjutnya ditindaklanjuti dalam Rapat Kerja Mahkamah Agung RI tahun 2002 di Surabaya yang merumuskan 10 (sepuluh) prinsip Pedoman Perilaku Hakim. Proses penyusunan pedoman ini didahului pula dengan kajian mendalam yang meliputi proses perbandingan serupa yang ditetapkan di berbagai Negara, antara lain Bangalore Principles. Pedoman Perilaku Hakim ini merupakan penjabaran dari ke 10 (sepuluh) prinsip pedoman yang meliputi kewajiban-kewajiban untuk : berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegrasi tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap professional

B. PENGERTIAN – PENGERTIAN

1. “Hakim” adalah seluruh Hakim termasuk Hakim ad hoc pada semua lingkungan badan peradilan dan semua tingkatan peradilan.

2. “Pegawai Pengadilan” adalah seluruh pegawai yang bekerja di badan-badan peradilan.

3. “Pihak Berwenang” adalah pemangku jabatan atau tugas yang bertanggung jawab melakukan proses dan penindakan atas pelanggaran

4. “Penuntut” adalah Penuntut Umum dan Oditur Militer.

C. PENGATURAN

1. Berperilaku Adil.

Adil pada hakekatnya bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu prinsip bahwa semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Dengan demikian, tuntutan yang paling mendasar dari keadilan adalah memberikan perlakuan dan memberi kesempatan yang sama (equality and fairness) terhadap setiap orang. Oleh karenanya, seseorang yang melaksanakan tugas atau profesi di bidang peradilan yang memikul tanggung jawab menegakkan hukum yang adil dan benar harus selalu berlaku adil dengan tidak membeda-bedakan orang.

Penerapan :

Umum

Hakim tidak boleh memberikan kesan bahwa salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya termasuk Penuntut dan saksi berada dalam posisi yang istimewa untuk mempengaruhi Hakim tersebut (fairness).

Dalam melaksanakan tugas peradilan, Hakim tidak boleh, baik dengan perkataan, sikap, atau tindakan menunjukkan rasa suka atau tidak suka, keberpihakan, prasangka, membeda-bedakan atas dasar perbedaan ras, jenis kelamin, agama, kebangsaan, perbedaan kemampuan fisik atau mental, usia atau status sosial ekonomi maupun atas dasar kedekatan hubungan dengan pencari keadilan atau orang-orang yang sedang berhubungan dengan pengadilan.

Hakim harus mendorong Pegawai Pengadilan, Advokat dan Penuntut serta pihak lainnya yang tunduk pada arahan dan pengawasan Hakim untuk menerapkan standar perilaku yang sama dengan Hakim sebagaimana disebutkan dalam butir 1.1.2.

Hakim tidak boleh mengeluarkan perkataan, bersikap atau melakukan tindakan, yang dapat menimbulkan kesan yang beralasan dapat diartikan sebagai keberpihakan, tidak atau kurang memberikan kesempatan yang sama, berprasangka, mengancam, atau menyudutkan para pihak atau kuasanya, atau saki-saksi.

Hakim harus memberi keadilan kepada semua pihak dan tidak beritikad semata-mata untuk menghukum.

Mendengar Kedua Belah Pihak.

Hakim harus memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang mempunyai kepentingan dalam suatu proses hukum di Pengadilan.

Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidak berpihakan.

2. Berperilaku Jujur.

Kejujuran pada hakekatnya bermakna dapat dan berani menyatakan bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Kejujuran mendorong terbentuknya pribadi yang kuat dan membangkitkan kesadaran akan hakekat yang hak dan yang batil. Dengan demikian, akan terwujud sikap pribadi yang tidak berpihak terhadap setiap orang baik dalam persidangan maupun diluar persidangan.

Penerapan :

2.1. Umum

2.1.1. Hakim harus berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela.

2.1.2. Hakim harus memastikan bahwa sikap, tingkah laku dan tindakannya, baik di dalam maupun di luar pengadilan, selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan Hakim dan lembaga peradilan (impartiality).

2.2. Pemberian Hadiah

Hakim tidak boleh meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari :

a. Advokat;

b. Penuntut;

c. Orang yang sedang diadili;

d. Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili; atau

e. Pihak yang memiliki kepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang diadili atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar (reasonable) patut dianggap bertujuan atau mengandung maksud untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.

Pengecualian dari butir ini adalah pemberian atau hadiah yang ditinjau dari segala keadaan (circumstances) tidak akan diartikan atau dimaksudkan untuk mempengaruhi Hakim dalam pelaksanaan tugas-tugas peradilan, yaitu pemberian yang berasal dari saudara atau teman dalam kesempatan tertentu seperti perkawinan, ulang tahun, hari besar keagamaan, upacara adat, perpisahan atau peringatan lainnya, yang nilainya tidak melebihi Rp. 500.000,- (Lima ratus ribu rupiah). Pemberian tersebut termasuk dalam pengertian hadiah sebagaimana dimaksud dengan gratifikasi yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

2.3. Pencatatan dan Pelaporan Hadiah dan Kekayaan.

2.3.1.Hakim wajib melaporkan secara tertulis pemberian yang termasuk gratifikasi kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

2.3.2 Hakim wajib menyerahkan laporan kekayaan sebelum dan setelah menjabat tanpa ditunda-tunda ,bersedia diperiksa kekayaan segera setelah memangku jabatan dan setelah menjabat, serta wajib melakukan segala upaya untuk memastikan kewajiban tersebut dapat dijalankan secara baik, apabila diperlukan oleh pihakyang berwenang, hakim harus bersedia diperiksa kekayaanya pada saat atau selama memangku jabatan.

3. Berperilaku Arif dan Bijaksana.

Arif dan bijaksana pada hakekatnya bermakna mampu bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat baik norma-norma hukum, norma-norma keagamaan, kebiasaan-kebiasaan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya.

Perilaku yang arif dan bijaksana mendorong terbentuknya pribadi yang berwawasan luas, mempuyai tenggang rasa yang tinggi, bersikap hati-hati, sabar dan santun.

Penerapan :

3.1. Pemberian Pendapat atau keterangan.

3.1.1 Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi

Suatu perkara di luar proses persidangan pengadilan, baik terhadap perkara yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain.

3.1.2 Hakim yang diberikan tugas resmi oleh Pengadilan dapat menjelaskan kepada masyarakat tentang prosedur beracara di Pengadilan atau informasi lain yang tidak berhubungan dengan substansi perkara dari suatu perkara.

3.1.3. Hakim dapat memberikan keterangan atau menulis artikel dalam surat kabar atau terbitan berkala dan bentuk-bentuk kontribusi lainya yang dimaksudkan untuk menginformasikan kepada masyarakat mengenai hukum atau administrasi peradilan secara umum yang tidak berhubungan dengan masalah substansi perkara tertentu.

3.1.4. Hakim dalam keadaan apapun tidak boleh memberi keterangan, pendapat, komentar, kritik, atau pembenaran secara terbuka atas suatu perkara atau putusan pengadilan baik yang belum maupun yang sudah mempuyai kekuatan hukum tetap dalam kondisi apapun.

3.1.5. Hakim tidak boleh memberikan keterangan, pendapat, komentar, kritik atau pembenaran secara terbuka atas suatu putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, kecuali dalam sebuah forum ilmiah yang hasilnya tidak di maksudkan untuk dipublikasikan yang dapat mempengaruhi putusan hakim dalam perkara lain.

3.2. Aktivitas Keilmuan, Sosial Kemasyarakatan

3.2.1 Hakim dapat menulis, memberikan kuliah, mengajar dan berpartisipasi dalam kegiatan keilmuan atau suatu upaya pencerahan mengenai hukum, system hukum, administrasi peradilan dan non-hukum, selama kegiatan –kegiatan tersebut tidak dimaksudkan untuk memanfaatkan posisi hakim dalam membahas suatu perkara.

3.2.2 Hakim boleh menjabat sebagai pengurus atau anggota organisasi nirlaba yang bertujuan untuk perbaikan hukum, system hukum, administrasi peradilan lembaga pendidikan dan sosial kemasyarakatan, sepanjang tidak mempengaruhi sikap kemandirian hakim.

3.2.3 Hakim tidak boleh menjadi pengurus atau anggota dari partai politik atau secara terbuka menyatakan dukungan terhadap salah satu partai politik atau terlibat dalam kegiatan yang dapat menimbulkan persangkaan beralasan bahwa hakim tersebut mendukung suatu partai politik.

4. Bersikap Mandiri

Mandiri pada hakekatnya bermakna mampu bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun.

Sikap mandiri mendorong terbentuknya perilaku Hakim yang tangguh, berpegang teguh pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran sesuai tuntutan moral dan ketentuan hukum yang berlaku.

Penerapan :

Hakim harus menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas dari pengaruh, tekanan, ancaman atau bujukan, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung dari pihak manapun.

5. Berintegritas Tinggi

Integritas tinggi pada hakekatnya bermakna mempuyai kepribadian utuh tidak tergoyahkan, yang terwujud pada sikap setia dan tangguh berpegang pada nilai- nilai atau norma- norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas.

Integritas tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengendapkan tuntutan hati nurani untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan selalu berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik.

Penerapan

5.1. Umum

5.1.1. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan.

5.1.2. Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan.

5.1.3. Hakim harus membatasi hubungan yang akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat.

5.1.4. Pemimpin Pengadilan diperbolehkan menjalin hubungan yang wajar dengan lembaga eksekutif dan legislatife dan dapat memberikan keterangan, pertimbangan serta nasihat hukum selama hal tersebut tidak berhubungan dengan suatu perkara yang sedang disidangkan atau yang diduga akan diajukan ke Pengadilan.

5.2. Konflik Kepentingan

5.2.1. Hubungan Priadi dan Kekeluargaan.

(1) Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, Ketua Majelis, Hakim anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani perkara tersebut.

(2) Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila Hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara, Penuntut, Advokat, yang menangani perkara tersebut.

5.2.2. Hubungan Pekerjaan

(1) hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili atau menjadi Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut pada persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih rendah.

(2) Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah menangani hal-hal yang berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili, saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum menjadi Hakim.

(3) Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga.

(4) Hakim dilarang mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa orang tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat mempengaruhi Hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan.

(5) Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik apabila Hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik tersebut.

5.2.3. Hubungan Finansial.

(1) Hakim harus mengetahui urusan keuangan pribadinya maupun beban-beban keuangan lainnya dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan keuangan para anggota keluarganya.

(2) Hakim tidak boleh menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga dalam hubungan financial.

(3) Hakim tidak boleh mengijinkan pihak lain yang akan menimbulkan kesan bahwa seseorang seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh keuntungan finansial.

5.2.4. Prasangka dan Pengetahuan atas Fakta.

Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila Hakim tersebut telah memiliki prasangka yang berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan.

5.3. Tata Cara Pengunduran Diri.

5.3.1. Hakim yang memiliki konflik kepentingan sebagaimana diatur dalam butir 5.2 wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Keputusan utntuk mengundurkan diri harus dibuat seawal mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilan atau persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak.

5.3.2. Apabila muncul keragu-raguan bagi Hakim mengenai kewajiban mengundurkan diri memeriksa dan mengadili suatu perkara lebih baik memilih mengundurkan diri.

6. Bertanggungjawab.

Bertanggung jawab pada hakekatnya bermakna kesediaan dan keberanian untuk melaksanakan semua tugas dan wewenang sebaik mungkin serta bersedia menangung segala akibat atas pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut.

Rasa tanggung jawab akan mendorong terbentuknya pribadi yang mampu menegakkan kebenaran dan keadilan, penuh pengabdian, serta tidak menyalahgunakan profesi yang diamankan.

Penerapan :

6.1. Penggunaan redikat Jabatan.

Hakim tidak boleh menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain.

6.2. Penggunaan Informasi Peradilan.

Hakim tidak boleh mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai Hakim, untuk tujua yang tidak ada hubungan dengan tugas-tugas peradilan.

7. Menjunjung Tinggi Harga Diri.

Harga diri pada hakekatnya bermakna bahwa pada diri manusia melekat martabat dan kehormatan yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi.

Prinsip menjunjung tinggi harga diri, khususnya Hakim, akan mendorong dan membentuk pribadi yang kuat dan tangguh, sehingga terbentuk pribadi yang senantiasa menjaga kehormatan dan martabatnya sebagai aparatur Peradilan.

Penerapan :

7.1 Umum.

Hakim harus mejaga kewibawaan serta martabat lembaga Peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan.

7.2. Aktifitas Bisnis.

Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan dan transaksi usaha yang berpotensi memanfaatkan posisi sebagai Hakim.

7.3. Aktifitas lain.

Hakim dilarang menjadi Advokat, atau Pekerjaan lain yang berhubungan dengan perkara.

7.3.1. Hakim dilarang bekerja dan menjalankan fungsi sebagai layaknya seorang Advokat, kecuali jika :

a. Hakim tersebut menjadi pihak di persidangan; atau

b. Memberikan nasihat hokum Cuma-Cuma untuk anggota keluarga atau teman yang tengah menghadapi masalah hukum.

7.3.2. Hakim dilarang bertindak sebagai arbiter atau mediator dalam kapasitas pribadi, kecuali bertindak dalam jabatan yang secara tegas dipertintahkan atau diperbolehkan dalam undang-undang atau peraturan lain.

7.3.3. Hakim dilarang menjabat sebagai eksekutor, administrator atau kuasa pribadi lainnya, kecuali untuk urusan pribadi anggota keluarga Hakim tersebut, dan hanya diperbolehkan jika kegiatan tersebut secara wajar (reasonable) tidak akan mempengaruhi pelaksanaan tugasnya sebagai Hakim.

7.3.4. Hakim dilarang melakukan rangkap jabatan yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7.4. Aktifitas Masa Pensiun.

Mantan Hakim sangat dianjurkan da sedapat mungkin tidak menjalankan pekerjaan sebagai Advokat yang berpraktekdi Pengadilan terutama di lingkungan peradilan tempat yang bersangkutan pernah menjabat, sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun setelah memasuki masa pensiun atau berhenti sebagai Hakim.

8. Berdisiplin Tinggi

Disiplin pada hakekatnya bermakna ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan.

Disiplin tinggi akan mendorong terbentuknya pribadi yang tertib di dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan berusaha untuk menjadi teladan dalam lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan kepadanya.

Penerapan

8.1. Hakim berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan.

8.2. Hakim harus menghormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan.

8.3. Hakim harus membantu para pihak dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk mewujudkan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

8.4. Ketua Pengadilan atau Hakim yang ditunjuk, harus mendistribusikan perkara kepada Majelis Hakim secara adil dan merata, serta menghindari pendistribusian perkara kepada Hakim yang memiliki konflik kepentingan.

9. Berperilaku Rendah Hati

Rendah hati pada hakekatnya bermakna kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan.

Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuh kembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas di dalam mengemban tugas.

Penerapan:

9.1. Pengabdian.

Hakim harus melaksananakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, pekerjaan Hakim bukan semata-mata sebagai mata pencaharian dalam lapangan kerja untuk mendapat penghasilan materi, melainkan sebuah amanat yang akan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.

9.2 Popularitas

Hakim tidak boleh bersikap, bertingkah laku atau melakukan tindakan mencari popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari siapapun juga.

10. Bersikap Profesional.

Profesional pada hakekatnya bermakna suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas.

Sikap profesional akan mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha untuk meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.

Penerapan :

10.1. Hakim harus mengambil langkah-langkah untuk memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi untuk dapat melaksanakan tugas-tugas peradilan secara baik

10.2. Hakim harus secara tekun melaksanakan tanggung jawab administrasi dan bekerja sama dengan para Hakim dan pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan.

D. PENUTUP

1. Hakim yang mengetahui atau menerima informasi yang dapat dipercaya bahwa seorang hakim lain telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan ini harus melakukan upaya yang layak untuk menghindari hal tersebut berulang atau dapat menimbulkan perlakukan yang tidak adil bagi para pihak, termasuk memberikan perlakukan yang tidak adil bagi para pihak, termasuk memberikan perlakukan yang tidak adil bagi para pihak, termasuk memberikan informasi kepada pihak yang berwenang dalam pengawasan Hakim. Membiarkan pelanggaran, adalah bertentangan dengan semangat membela korps Hakim dan lembaga peradilan pada umumnya. Pelanggaran yang dilakukan oleh individu-individu hakim pada akhirnya akam melahirkan ketidakpercayaan masyarakat pada seluruh Hakim dan lembaga peradilan.

2. Setiap Pimpinan Pengadilan harus berupaya sungguh-sungguh untuk memastikan agar Hakim di dalam lingkungannya mematuhi Pedoman Perilaku Hakim ini.

3. Pelanggaran terhadap Pedoman ini dapat diberikan sanksi. Dalam menentukan sanksi yang layak dijatuhkan, harus dipertimbangkan factor-faktor yang berkaitan dengan pelanggaran, yaitu latar belakang, tingkat keseriusan, dan akibat dari pelanggaran tersebut terhadap lembaga peradilan maupun pihak lain.

Ditetapkan di : Jakarta

Tanggal : 22 Desember 2006

KETUA MAHKAMAH AGUNG

REPUBLIK INDONESIA,




BAGIR MANAN